Rabu, 03 Desember 2008

NOTARIS DAN PEMERIKSAAN SIDANG PENGADILAN


Oleh : Noviyanti Absyari*

Pasca disahkannya UU Jabatan Notaris yakni UU Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN), notaris memasuki era baru. Lahirnya UU Jabatan Notaris mengakhiri hampir 2 abad berlakunya Peraturan Jabatan Notaris. Lahirnya UUJN merupakan terobosan baru untuk memastikan bahwa fungsi notaris sebagai pejabat umum dapat terlaksana dengan baik.
Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris. Tugas Notaris, selain membuat akte-akte otentik, juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Selain itu, Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum, tidak jarang notaris berurusan dengan proses hukum, baik di tahap penyelidikan, penyidikan maupun persidangan. Pada proses hukum ini notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Jika dilihat sekilas, hal ini akan bertentangan dengan sumpah jabatan notaris, dimana notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi akta yang dibuatnya.
Pada prinsipnya, akta yang dibuat oleh Notaris, mempunyai kepastian isi, kepastian tanggal dan kepastian orangnya. Akta tersebut merupakan suatu bukti yang mengikat dan sempurna, harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar (selama kebenarannya tidak dibuktikan lain) dan tidak memerlukan tambahan pembuktian. Pada proses hukum yang terjadi perlu dilihat sejauh mana kekuatan pembuktian ini dilaksanakan.
Dalam persidangan, hakim sangat memerlukan adanya alat-alat bukti untuk dapat mencapai suatu putusan dan penyelesaian perkara secara pasti menurut hukum berdasarkan pembuktian yang diajukan. Dengan pembuktian, diharapkan dapat dicapai kebenaran menurut hukum serta dapat menjamin perlindungan terhadap hak-hak para pihak yang berperkara, secara seimbang.
Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi aktanya, bahkan Notaris wajib merahasiakan semua keterangan mulai dari persiapan pembuatan akta hingga selesainya pembuatan suatu akta. Jabatan-jabatan lain yang harus juga merahasiakan yang berhubungan dengan pekerjaannya selain Notaris, antara lain yaitu Dokter. Mereka apabila dijadikan saksi dalam perkara, dapat menggunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi.
Hak ingkar, atau juga disebut hak tolak, atau hak untuk minta dibebaskan menjadi saksi, ada pada beberapa jabatan, yang oleh undang-undang diberikan. Hak ingkar adalah merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahuinya
Sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mewajibkan Notaris untuk tidak bicara, sekalipun di muka pengadilan, artinya tidak dibolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam aktanya. Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara. Kewajiban ini mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata.
Hak ingkar Notaris bukan hanya merupakan hak saja, tetapi juga merupakan kewajiban karena apabila dilanggar, akan terkena sanksi menurut Undang-undang. Notaris dalam menjalankan jabatannya, yang perlu dirahasiakan bukan hanya apa yang tercantum dan tertuang dalam akta yang dibuat di hadapannya, akan tetapi juga apa yang diketahui dan diberitahukan dalam rangka pembuatan akta. Sanksi tersebut sebagaimana Pasal 322 ayat (1) KUHPidana.
Oleh karena itu untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya hal-hal seperti ini, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh Notaris yakni sebagai berikut. Pertama, notaris perlu memastikan bahwa para penghadap yang menghadap notaris memiliki kewenangan untuk menghadap. Pemeriksaan identitas perlu dilaksanakan agar tidak terdapat cacat dari akta yang dibuat oleh notaris. Sah atau tidaknya identitas akan berpengaruh terhadap isi akta yang dibuat.
Langkah kedua, Notaris perlu memperhatikan tatacara pembuatan akta secara benar sebagaimana diamanatkan dalam UUJN. Prosedur pembuatan akta yang benar akan menjadikan Notaris dapat berargumen bahwa akta yang dibuatnya tersebut merupakan akta otentik yang merupakan bukti sempurna dipersidangan.
Langkah ketiga, jika ternyata akta yang dibuat Notaris bermasalah dan harus melalui proses hukum, sebagai warga negara yang baik Notaris harus wajib memberikan keterangan dalam proses hukum tersebut. Namun demikian Notaris yang mempunyai hak ingkar sebagaimana telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Notaris berkewajiban mempergunakan hak ingkarnya, karena hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang.
Pada akhirnya diharapkan dengan mengetahui hak yang dimilikinya, akan menjadikan Notaris semakin berhati-hati dalam proses pembuatan akta, agar proses hukum yang akan dijalankan notaris dapat memimalisir dan kualitas Notaris Indonesia semakin lama semakin bertambah baik. Semoga.


Penulis adalah Alumnus Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: